Makna Tembang Macapat Dalam Kehidupan

Sabtu, 29 November 2014



   Ajaran jalan keselametan “kejawen” tertanam dihati sanubari didalam tembang. Alunan tembang didendangkan setiap kesempatan dalam senandung nyanyi (kekidungan lan uro-uro), diresapi dalam rasa dan diingat dalam akal budi sampai turun temurun. Irama tembang menggambarkan siklus kehidupan manusia dalam “alam purwa, madya lan wusana” (dunia awal, kini dan akhir)”, yaitu semenjak ada (lahir), kemudian hidup didunia sampai tiada atau meninggal (mati). Ir. Drajat MS seorang dalang dan cendekiawan menuturkan tentang tembang kehidupan dengan urutan:
a.   Tembang Mijil, berasal dari kata wijil artinya lahir. Mijil lambang manusia sedang dilahirkan didunia.
b.  Maskumambang, diibaratkan bayi balita bagaikan ikan mas yang mengambang didalam air (kehidupan).
c.   Kinanthi, anak yang sudah bisa berjalan perlu diasuh dan diiring (dikanthi) agar terhindar dari celaka.
d. Durma, pertanda anak yang memasuki usia remaja, tingkah lakunya mulai timbul, dapat membedakan mana yang benar dan yang salah namun kurang memiliki duga prayoga (tolak ukur santun).
e. Sinom, anak muda nalarnya sudah tumbuh tetapi emosinya belum stabil, bertindak asal berani tanpa menghitung akibatnya.
f.    Asmaradhana, anak yang sudah akil baligh dan mulai menyenangi lawan jenis, ingin menjalin asmara, hidup berumah tangga.
g.   Dandhanggula, Anak mulai memikirkan tanggung jawab hidup berkeluarga, dan merasakan kenikmatan mengarungi hidup rumah tangga.
h. Pangkur, nyingkur kadonyan memesu budhi artinya membelakangi duniawi mempertajam rohani meningkatkan ketakwaan dalam berbakti kepada tuhan serta menjalankan perintahnya.
i.   Gambuh, artinya jumbuh yaitu keturutan karepe, jinangkung sedya utamane, maksudnya keinginannya baiknya terkabul.
j.     Megatruh, tiba saatnya berpisah antara badan dan ruh (nyawa) terjadi pada saat akhir akan meninggalkan dunia (mati).
k. Pucung, setelah meninggal akan dikuburkan, terlebih dahulu diberi pakaian dengan kain kafan atau dipocong.




Daftar Pustaka
Adhy Soetardjo, Drs. 1999. Ramalan Jaya Baya. Jakarta: PT Sun.

Gurit-Gurit


Dewekke wis ngadek
Cobi lumaku marang dalan kang dikira bener
Ora duwe rerasan getun
Kataris urep kang dipingini
Suryaning sadina-dina
Kekancan marang langit kang padhang
Kabusak dening rasa seneng, katutup rerasan keselipun
Ing dalem kesele saca,kanikmatan donya kang tumeka
Alon-alon deweke gadahi kapinginan, pitutur lan ucapan kang becik
Biyunge nanemke, aja gresula
Lakoni lan lakoni
Duh gusti
Gampangke uripe
Riasana dening kabecikmu
Resikke dening asta ingkang cepeng bandha
Padhangi dinane

Dening alusipun sang surya



Setitik banyu bulah-bulah ing cangker
Banyu kang bening, bening kang rerasan
Dak rasakke kanti alon
Sitik-setitik pega bulah-bulah kayata mega ing wektu awan
Sebul sitik-setitik, kanti tutuk lan lidhah
Karaos eca, sinambi bayangke kabecikkan kang muruping salira
Pijer, kagungan pikarepan
Pikarepan ingkang bakal kawujud

Nama Hari, Pasaran Dan Tahun Dalam Jawa

Jumat, 28 November 2014







Dina atau Hari

Senin
Soma
Selasa
Anggara
Rabu
Buda
Kamis
Respati
Jum’at
Sukra
Sabtu
Tumpuk
Minggu
Dite




Jeneng Pasaran

Paing
Pon
Wage
Kliwon
Legi



Jeneng Sasi atau Tahun

No.
Masehi
Hari
Hijriyah
Hari
Jawa
Hari
1
Januari
31
Muharram
30
Sura
30
2
Februari
28/29
Shafar
29
Sapar
29
3
Maret
31
Rabi’ul Awal
30
Mulud
30
4
April
30
Rabi’il Akhir
29
Bakda Mulud
29
5
Mei
31
Jumadil Awal
30
Jumadil Awal
30
6
Juni
30
Jumadil Akhir
29
Jumadil Akir
29
7
Juli
31
Rajab
30
Rejeb
30
8
Agustus
31
Sya’ban
29
Ruwah
29
9
September
30
Ramadhan
30
Pasa
30
10
Oktober
31
Syawal
29
Sawal
29
11
November
30
Dzulqaidah
30
Sela
30
12
Desember
31
Dzulhijjah
29/30
Besar
29/30



o   1 Minggu = 7 dina
o   1 Pasar = 5 dina
o   1 Wulan = 4 Minggu
o   1 Tahun = 52 Minggu = 12 Sasi
                    = 354 hari/354 hari -----> Hijriyah
                    = 365 hari/366 hari -----> Masehi

o   1 Windu = 8 tahun

Sejarah Wayang

Kamis, 27 November 2014


A.    Wayang Dan Budaya Jawa
Dalam bahasa Jawa halus atau krama,pergelaran wayang disebut ringgitan. Dalam bentuk ngoko adalah wayangan. Jadi didalam membangun rumah,orang Jawa sudah meniati untuk menyediakan tempat khusus bagi pergelaran wayang. Ini menandakan betapa kuatnya pengaruh wayang dalam kehidupan orang Jawa.
Wayang merupakan identitas utama manusia Jawa. Demikian kata Marbangun Hardjowirogo dalam Manusia Jawa (1983:33), yaitu dalam bab yang diberi judul “manusia Jawa dan wayang”.
Salah satu hal yang menarik adalah bahwa Raffles mengkaitkan tarikh Ramayana dengan tarikh Mahabharata secara berbeda dengan versi pewayangan sekarang, dimana kita dapat melihat pertemuan itu lewat lakon karangan Rama Nitis. Dalam lakon ini Rama mengakhiri hidupnya dengan cara nitis atau menyatu dengan Kresna sebagai avatara Wisnu sesudahnya. Dalam versi Raffles, kematian Rama menandai pergantian zaman kedua, yaitu Treta Yuga (Raffles : Treta Yoga) ke zaman ketiga, yaitu Dwapara Yuga (Raffles : Duapara Yoga). Dan saat itu kira-kira bersamaan dengan masa hidupnya Sakri, yaitu mbah canggahnya Pandhawa dalam alur kisah Mahabharata.


B.     Asal-Usul Wayang
Kesimpulan dan pendapat dari para pakar wayang pada garis besarnya terbagi menjadi dua:
1.      Pertunjukan wayang berasal, atau setidak-tidaknya terpengaruh oleh pertunjukan tonil India Purba yang disebut chayanataka (seperti pertunjukan bayang-bayang).
2.      Pertunjukan wayang adalah ciptaan asli orang Jawa.


C.     Wayang sebagai Tontonan dan Tuntunan
Kita semua mengetahui, bahwa bagi masyarakat Jawa wayang tidaklah hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan. Wayang bukan sekedar sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan dan media pendidikan.

Ditinjau dari segi upaya pengembangan budaya Jawa, kedua fungsi wayang tersebut yakni fungsi tontonan dan fungsi tuntunan, semuanya perlu me ndapat perhatian dalam pembinaan wayang. Keduanya perlu senantiasa dijaga dan ditingkatkan kwalitasnya agar selalu dapat memenuhi embannya dengan baik. 

 
Design by Pocket