Ajaran jalan keselametan “kejawen” tertanam dihati sanubari
didalam tembang. Alunan tembang didendangkan setiap kesempatan dalam senandung
nyanyi (kekidungan lan uro-uro),
diresapi dalam rasa dan diingat dalam
akal budi sampai turun temurun. Irama tembang menggambarkan siklus kehidupan
manusia dalam “alam purwa, madya lan
wusana” (dunia awal, kini dan akhir)”, yaitu semenjak ada (lahir), kemudian
hidup didunia sampai tiada atau meninggal (mati). Ir. Drajat MS seorang dalang
dan cendekiawan menuturkan tentang tembang kehidupan dengan urutan:
a. Tembang
Mijil, berasal dari kata wijil
artinya lahir. Mijil lambang manusia sedang dilahirkan didunia.
b. Maskumambang,
diibaratkan bayi balita bagaikan ikan mas yang mengambang didalam air
(kehidupan).
c. Kinanthi,
anak yang sudah bisa berjalan perlu diasuh dan diiring (dikanthi) agar terhindar dari celaka.
d. Durma,
pertanda anak yang memasuki usia remaja, tingkah lakunya mulai timbul, dapat
membedakan mana yang benar dan yang salah namun kurang memiliki duga prayoga (tolak ukur santun).
e. Sinom,
anak muda nalarnya sudah tumbuh tetapi emosinya belum stabil, bertindak asal
berani tanpa menghitung akibatnya.
f. Asmaradhana,
anak yang sudah akil baligh dan mulai menyenangi lawan jenis, ingin menjalin
asmara, hidup berumah tangga.
g. Dandhanggula,
Anak mulai memikirkan tanggung jawab hidup berkeluarga, dan merasakan
kenikmatan mengarungi hidup rumah tangga.
h. Pangkur,
nyingkur kadonyan memesu budhi artinya
membelakangi duniawi mempertajam rohani meningkatkan ketakwaan dalam berbakti
kepada tuhan serta menjalankan perintahnya.
i. Gambuh,
artinya jumbuh yaitu keturutan karepe, jinangkung sedya utamane,
maksudnya keinginannya baiknya terkabul.
j. Megatruh,
tiba saatnya berpisah antara badan dan ruh (nyawa) terjadi pada saat akhir akan
meninggalkan dunia (mati).
k. Pucung,
setelah meninggal akan dikuburkan, terlebih dahulu diberi pakaian dengan kain
kafan atau dipocong.
Daftar Pustaka
Adhy Soetardjo, Drs. 1999.
Ramalan Jaya Baya. Jakarta: PT Sun.