Setiap menjelang Bulan
Puasa, kota Kudus memiliki tradisi yang oleh warga setempat dinamai
“Dandangan”. Lokasi Dandangan berpusat di jalan Menara Kudus membentang
ke jalan-jalan di sekitarnya ke timur hingga perempatan Pekojan dan ke barat
hingga Pasar Jember (jalan Kudus-Jepara).
Tradisi
Dandangan ini awalnya pada zaman dahulu masyarakat Kudus berkumpul di depan
Menara Masjid "Al Aqsha" yang kini populer dengan sebutan Masjid
"Menara" Kudus, menunggu pengumuman awal puasa Ramadhan dari Syeikh
Dja'far Sodiq (dikenal dengan sebutan Sunan Kudus). Karena Syeikh Dja'far Sodiq
adalah pemimpin agama Islam di Kudus dan ahli falak. Setelah keputusan awal
puasa itu disampaikan oleh Kanjeng Sunan Kudus, maka dipukullah beduk di Masjid
Menara Kudus, "dang-dang-dang",
begitu bunyinya. Dari suara beduk itulah, istilah Dandangan lahir.
Namun
seiring perkembangannya Dandangan yang dulu dikenal dengan acara tabuh beduk
saja, sekarang menjelma menjadi acara selayaknya pasar malam. Saya rasa
penamaan ‘‘Dandangan’’ ini mirip dengan ‘‘Dugderan” di Semarang, yang juga
berasal dari suara bedug: “dug dug dug,
dher”. Tetapi ciri khas Dandangan ini adalah menyampaikan awal Ramadhan
dengan suara bedug "dang-dang-dang".
Pada
masa Sunan Kudus penjaja dagangan dari masyarakat sekitar Menara Kudus,
dagangan yang ditawarkan hanya makanan yang siap konsumsi. Beriring perkembangan
zaman jumlah pedagang sangat banyak dan beragam barang yang ditawarkan.
Barang-barang atau produk yang ditawarkan sangat beragam, antara lain: pakaian,
sepatu dan sandal, boneka, perhiasan, furnitur, hasil kerajinan, mainan
anak-anak, dan berbagai jenis makanan. Di sini juga ada penjual kerak telur
khas Betawi.
Pada
masa Sunan Kudus Dandangan dibuka pada malam hari. Seiring perkembangan zaman
Dandangan dibuka hampir sepanjang hari, dari pagi hingga malam hari, pengunjung
acara ini paling banyak pada malam hari, selepas Maghrib hingga menjelang
tengah malam. Pada saat jumlah pengunjung memuncak inilah kemacetan jalan-jalan
di sekitar lokasi tak terelakkan.
Jalan
tempat lokasi utama Dandangan itu sendiri telah ditutup oleh pihak
penyelenggara Dipenda Kudus. Hanya sepeda motor yang dapat lewat dengan
berjalan lambat di sela lapak-lapak para pedagang dan lalu-lalang pengunjung
yang berjalan kaki.
Pengunjung
Dandangan meliputi segala usia, mulai anak-anak hingga lanjut usia, pria dan
wanita. Hanya saja usia remaja tampak mendominasi. Kemungkinan besar,
pengunjung ini tidak hanya berasal dari Kudus, tetapi juga dari daerah-daerah
sekitarnya seperti Demak, Jepara, Pati, dan Grobogan.
Tradisi
Dandangan tentunya harus dilestarikan terus untuk generasi-generasi berikutnya.
Karena tradisi ini merupakan cerminan masyarakat Kudus untuk menyambut
datangnya Bulan Ramadhan.
0 komentar:
Posting Komentar